Sabtu, 15 September 2018

Crazy Rich Asians

Saya sudah lama tidak menonton film komedi romantis, kebetulan di tengah serbuan film horor di bioskop, ada film Crazy Rich Asians yang menjadi pilihan.

Tidak tau seperti apa kisah film ini, dan tidak tahu latar belakangnya, yang ternyata dari novel laris dengan judul yang sama karya Kevin Kwan

Sebagai film Hollywood yang sebagian besar pemainnya adalah orang Asia atau keturunan Asia, film ini bercerita tentang kisah percintaan Rachel Chu (Constance Wu) yang diajak oleh kekasihnya Nick Young (Henry Golding) ke kota kelahirannya Singapura.


Rachel adalah seorang Professor Ekonomi, dia berkewarganegaraan Amerika, walaupun orangtuanya adalah orang Asia. Rachel nampak kaget ketika dalam perjalanan menuju Singapura, Nick adalah anggota keluarga orang kaya, bahkan dia menjadi ahli pewaris utama kelak.

Saking kayanya, gelar Profresor Ekonomi Rachel yang didapatkannya dengan susah payah, seolah tidak ada apa-apanya di mata keluarga Young, terutama oleh Ibunda Nick (Michelle Yeoh). Level kekayaannya adalah seperti mengadakan resepsi pernikahan di Garden By The Bay, atau tiba-tiba membuat jalan menuju altar perkawinan seperti dialiri sungai, atau iseng membeli gong pusaka dari Birma hanya untuk mendapatkan "pay attention" saja pada saat kondisi ramai.   


Dalam budaya timur (Asia), keluarga adalah nomor satu, dimana setiap keputusan yang kita buat mau tidak mau harus melibatkan pihak keluarga, bagi kita orang Asia, meja makan bahkan menjadi ruang rapat favorit kita sambil diselingi sajian makanan favorit kita. Bahasa inggrinya, "Mangan ora mangan, sing penting ngumpul"

Beda dengan budaya barat yang lebih bersifat individual dan dituntut melakukan segala hal secara sendirian.

Crazy Rich Asian, tidak hanya bercerita Rachel dan Nick.... ada pula sempalan konflik-konflik para sepupu yang menambah rasa saat kita menonton film ini tanpa melewati kisah utama.


Dari sisi soul, Michelle Yeoh lah juaranya... gestur tubuh, mimik muka, serta semua dialognya sebagai Eleanor Young, ibu dari Nick yang memilih bibit bebet dan bobot untuk anaknya menjadi momok yang disegani bagi Rachel.

Film memang ini berasal dari cerita yang sudah sering kita dengar, namun Jon M. Chu sebagai sutradara berhasil mendeliver novel laris ini menjadi sesuatu hal yang menyenangkan dan membuat kita tersenyum lebar bahkan tertawa menyaksikan film ini.

Jika Indonesia punya Mas Boy, Singapura sekarang punya Nick Young.. yuk ditonton cing!!!

Mile 22

Daya tarik film ini bagi penonton di Indonesia adalah karena salah satu pemainnya aktor laga kebanggan kita, Iko Uawis. Dia mendapatkan peran krusial dan bersanding dengan aktor Hollywood ternama Mark Wahlberg.

Apalagi jika kita melihat poster atau signboard minimarket ternama yang menjadi salah satu sponsor film Mile 22. Bersandingnya Iko dengan Mark membuat kita bangga dan otomatis menjadi ingin menonton aksi Iko di film ini.


Bercerita tentang unit taktis yang diberi nama Overwatch yang beranggotakan James Silva (Mark Wahlberg) dan Alice (Lauren Cohan) mendapat tugas untuk mengantarkan Li Noor(Iko Uawis) dari kedubes US menuju bandara yang ditunjuk berjarak 22 mil.

Li Noor adalah seorang polisi lokal yang sedang mencari suaka, dia mempunyai informasi penting terkait Amerika Serikat dan negaranya, dan dia berjanji akan membeberkan semua jika berhasil mendapatkan suaka.

Disutradarai oleh Peter Berg, dia nampak seperti soulmate dengan Mark, karena hampir sebagian filmnya mendapatkan kesuksesan ketika Mark memperoleh peran di situ.

James Silva terlalu cerewet dan cenderung marah tanpa tujuan jelas, Alice pun seperti nanggung diberi peran lebih untuk mendapatkan emosi penonton tentang kehidupan pribadinya diluar sebagai seorang polisi, karena hanya sesaat saja kita coba dikenalkan kehancuran keluarga dia di tengah-tengah masa tugas. 
sementara Iko seolah menjadi tokoh sentral di film ini, seorang polisi lokal yang punya kemampuan beladiri melebihi pasukan elit, apalagi dengan adegan di gedung ketika berusaha melarikan diri, mungkin para penonton akan mendapatkan flashback dengan film The Raid.


Sayang sekali memang, apalagi ditambah bahwa film ini bercerita di sebuah negara di Asia Tenggara bernama Indocarr, namun banyak percakapan yang kita dengar dengan bahasa Indonesia, namun lokasinya tidak menunjukan ke-Indonesia-an sama sekali.
kita sebagai orang Indonesia yang menonton, jadi merasa asing... andai lokasi di film ini dibuat di suatu daerah di Indonesia, saya rasa bisa menutup sedikit kekecewaan kita setelah menonton film ini.

Rencana film ini akan dibuat trilogi, semoga di film kedua dan ketiganya mampu diperbaiki sehingga kita semakin bangga bahwa insan perfilman nasional sudah satu level dengan Hollywood

trailer Mile 22 

Selasa, 11 September 2018

Searching

Mungkin tema film ini sudah banyak diangkat di film-film lainnya. Yaitu kisah orangtua yang mencari anaknya yang tiba-tiba hilang secara misterius.

Lalu apa yang berbeda dari film ini sehingga kita perlu menontonnya ?
Menurut saya adalah bagaimana pembuat film ini melakukan penggambaran di kehidupan jaman sekarang dan dari sisi pengkameraan seolah kita sedang browsing ke segala arah melalui laptop, smartphone, dan aplikasi-aplikasi yang terkenal lainnya. Saat ini adalah jamannya dimana internet sudah menjadi kebutuhan dan semua terkoneksi, sehingga membuat orang yang berselancar di dunia tersebut meninggalkan jejak.

Film ini sebenarnya bisa selesai di 15-30 menit pertama, namun dengan pintarnya sang sutradara dan pemeran utama David Kim (John Cho) memainkan emosi penonton dengan kepanikannya, rasa penasaran dan menerka-nerka kenapa dan apa yang membuat anaknya Margot Kim (Michelle La) hilang. 

Sutradara serta penulis film ini adalah Aneesh Chaganty, seorang pemuda yang baru pertama kali menyutradarai film lebar, debut yang bagus menurut saya, apalagi dia dimentori langsung oleh Timur Bekmambetov yang bertindak sebagai produser. saya sangat terkesan Timur ketika dia  menjadi sutradara di film 9.

Ada beberapa fakta menarik di film ini, salah satunya adalah John Cho yang didapuk sebagai aktor utama, adalah aktor pertama Asia-Amerika yang membintangi film Hollywood.

Sang sutradara sebelumnya juga masuk ke dalam team Google Five, yaitu team marketing Google yang bermarkas di New York, Amerika.

Banyak ketegangan dan penasaran yang ditimbulkan dalam film ini, apalagi jika posisi kita sebagai orangtua.


Salah satu pelajaran yang dapat saya ambil di film ini adalah David Kim begitu rapi dalam menyimpan memori / database sehingga bila saat diperlukan bisa dicari dengan mudah. Dan ternyata sifatnya kerapihannya itu menuntunnya kemana Margot menghilang.

trailer Searching